Pages


Fate?

When I asked someone about why do some people think that fate was so cruel sometime, here is the answer...

 "Because we are so much preoccupied with prejudices in regards to God, the creator of our fate. We don't know and will never know, in this world, the idea behind this particular fate. We are just required to strive and go on, it entails a "good" perception, not a prejudice, on our part, regarding God's decision in "endowing" us with this fate. But I must tell you this sincerely Rapi ; it's actually easier said than done.."

So what do you think, guys? (about the question or response the answer, or both of them) let's share here... :)

Any Suggest?

Sebelumnya tak kasi tau dulu, curcol ini bakalan panjang lhooo… :D

Sudah hampir dua bulan ini finally saya memutuskan untuk nge-kos. Bagi yang belum tau, tadinya saya “nunut” di tempat paklik saya di daerah Sedayu. Sekarang saya menghabiskan malam-malam saya sendirian di kamar tanpa ditemani berisiknya bocah-bocah SD, tiga sepupu laki-laki saya yang sering berdebat kusir sebelum tidur atau sekedar “gojekan”. Hmm…tenang sih, tapi kadang kangen juga, makanya kalau akhir pekan nggak ada kegiatan saya masih sering main kesana.

Saya pernah nyantri atau mondok selama enam tahun, otomatis, saya sudah lumayan terbiasa hidup mandiri. Tapi tetap saja, ternyata kehidupan kos dan kehidupan mondok itu jauh berbeda di segala aspek, terutama teman-temannya. Namanya juga masih bocah waktu itu, enjoy aja sama teman sekamar, siapapun itu. FYI, sistem penentuan temen kamar di tempat saya mondok dulu itu dirotasi, jadi tiap semester kita bisa saja dapat teman kamar yang berbeda-beda. Adaptasinya? Walaupun sifat kita berbeda-beda, toh ternyata gampang-gampang aja. Yah…bisa maklum. Kita punya kegiatan yang sama, sekolah yang sama, tempat ngaji yang sama, meja makan yang sama dan walikamar yang sama, jadi semuanya bisa langsung klop dengan begitu saja.

Beda sama temen kos. Selain kita kadang emang bener-bener nggak kenal mereka sebelumnya, kegiatan yang kita punya otomatis beda-beda. Pertama kali ngekos dan saya langsung mengalami hal tersebut. Di tempat saya kos ada 4 kamar, 2 yang di bawah diisi oleh orang Medan, mahasiswa semester akhir semua, tapi satu diantaranya nyambi kerja. Yang 1 kamar diisi saya (yaiyalah!) yang satunya lagi diisi newbie di jogja, anak perantauan Kalimantan yang baru lulus SMA mau nyoba kuliah di Jogja.

Dua penghuni di bawah itu selalu berkebalikan sama saya. Saya pergi kuliah, mereka belum bangun, nanti saya pulang kuliah mereka udah nggak ada di kamar sampe jam sepuluh malam yang kadang-kadang (sering ding) saya udah merem. Boro-boro ngobrol atau adaptasi, tatap muka aja jarang.

Singkat cerita, walaupun kami jarang ketemu, bukan berarti masalah nggak muncul. Namanya manusia, pasti adaaaa aja gesekan-gesekan yang terjadi kalo berdekatan. It’s ok, itu memang bagian dari proses, kan? Hanya saja yang mengganjal di hati saya, cara penyampaian mereka tentang masalah-masalah itu. Seringkali menggunakan “kekerasan”.

Bukan. Bukan. Saya bukannya ditonjok atau dikeroyok digebukin, hehehe. Cuma bahasa yang mereka gunakan menurut takaran hati saya “menyakitkan”. And honestly, buat saya itu lebih sakit dari ditonjok atau digebukin. Saya nggak mau menjadikan asal daerah sebagai kambing hitam, toh saya juga punya banyak teman dari Medan dan mereka ramah-ramah. Mungkin ini emang murni masalah sifat individu kali ya. 
Yah…saya juga nyadar diri sebagai orang baru. Nggak berani banyak bertingkah atau sok menasihati. And finally I decided to be silent. Seminimal mungkin saya kurangi interaksi saya dengan mereka, menghindari gesekan. Yang tadinya dua kali sehari ketemunya, malah bisa nggak ketemu sama sekali, Cuma denger mereka buka Grendel pintu atau gebyar gebyur di kamar mandi. Parah banget ya?ckckckck..jangan ditiru ya adik-adik manis…

Hmm…lama-lama hal ini bikin saya nggak nyaman. Masa iya mau kayak gini terus? Dalam hati sih pinginnya, punya housemate kayak di pondok dulu, yang klop gitu, tapi apa boleh dikata… setiap mereka marah-marah en menggerutu tentang hal-hal apa saja sampe mengeluarkan kata-kata yang…emmm… ya begitulah, saya selalu merasa bersalah. Merasa sumpah serapah itu ditujukan untuk saya. Dan segera mungkin saya me-review apa saja yang saya lakukan seharian di kos ini. Kalau-kalau ada yang “menyulut” mereka.

Kenapa sampe segitunya sih? Soalnya sekali dua kali ada hal yang memang ternyata saya lah penyebabnya. Tapi itu hal selepeh (baca:sepele) koookk…kayak lupa meninggalkan pintu kamar mandi dalam keadaan tertutup, padahal mereka menghendaki dibuka. Ataupun lupa nyalain lampu teras waktu mereka ulang malam. Jadi ya….tiap mereka marah-marah secara tidak sadar saya langsung mengutuki diri saya sendiri, menimbang-nimbang kelupaan apalagi yang jadi penyebabnya.

Fyuuuhh…sungguh saya capek. Tapi ketika mengingat alasan mengapa saya pilih nge-kos, saya memilih bertahan dan mencoba mengahadapi situasi ini sebaik mungkin. Waktu ketemu sama ibu kos juga banyak dikasih nasihat, nge-kos itu sejatinya belajar bermasyarakat. Kita harus pandai-pandai membawa diri. Nggak bisa dipungkiri pasti ada satu dua orang yang ingin “mengganggu” kita. Ada yang tidak suka dengan gerak-gerik kita, de el el, de es be.

Makdartu, sebisa mungkin kita bersikap baik dan ramah sama lingkungan (lingkungan tempat saya, perkampungan, bukan kos-kosan yang deket kampus). Sama lingkungan di luar kos, saya fine-fine aja. Malah ada beberapa ibu-ibu yang saya kenal (wajahnya sama rumahnya doank sih), at least senyum setiap berpapasan. Lha sama anak kos? Saya juga udah berusaha with my best effort kok waktu di awal-awal itu, tapi mendapat perlakuan/timbal balik yang tidak mengenakan seperti itu bikin saya males mencobanya lagi. (belum bisa belajar ikhlas sepenuhnya, huhuhu)

Gimanapun juga, mereka sodara saya, sodara semuslim maksudnya, saya nggak mau ada “perang dingin” kayak gini. Tapi kalo sayanya “muncul”, yang ada malah perang beneran. Untuk sekarang ini sih saya masih menerapkan salah satu lirik lagunya mbak Kelly Clarkson yang “WHAT DOESN’T KILL YOU MAKES YOU STRONGER”. Yup, masalah kayak gini (yang nggak sampe menghilangkan nyawa saya #lebay#) hanya akan menambah hati dan fikiran saya bertambah kuat. Mendewasakan diri istilah kerennya. Saya akan berusaha menghadapinya dengan jurus you-you kang-kang. #eh?

Maksudnya lo-lo-gue-gue. Saya menerapkan sitem kayak di kos cowok aja, yang biasanya emang “don’t know don’t care” sama kehidupan tetangga sebelah kosnya. Saya menjalani kehidupan saya di dunia saya, begitupun mereka. Sebisa mungkin saya menjaga agar pelaksanaan hak-hak saya tidak mengganggu hak-hak mereka, begitu juga soal kewajiban. Dan saya menentramkan fikiran saya sendiri bahwa saya tidak perlu merasa bersalah atas sumpah serapah yang mereka ucapkan. Let it flow… kalau emang ternyata saya yang salah, ya saya akan minta maaf. Yup, berdamai dengan diri saya sendiri rasanya lebih patut diupayakan daripada mencoba berdamai dengan orang lain dan beresiko perang.

Saya berusaha menjalani hidup se-tenang, se-enjoy dan se-natural mungkin (d’masiv kaleee). Yah, pokoknya begitulah…

Udah tak bilangin lho ini postingan curcolnya bakalan panjang, hehehe..

Teman-temen blogger ada saran kah? :)

Dewasa itu…

You know what, saya lumayan sering ngadain “survey” kecil-kecilan tentang hal-hal tertentu. Maksudnya, hal-hal yang memang patut dimintai pendapat tentangnya, nggak jarang juga cuma hal-hal selepeh (baca : sepele) aja. Survey-nya cuma lewat sms aja, diajukan ke teman-teman dan saudara-saudara yang namanya ada di list phonebook hape saya, hehehe…(survey macam apa itu??!!) LOL. Suka-suka saya donk, surve-survey saya, masalah buat loooo??!! #shoimah.style# :D

Sebenarnya tujuan survey ini cuma untuk mengetahui pandangan dan pola pikir orang-orang yang saya tanyai itu tentang suatu hal. Kadang kala tujuannya juga berubah untuk mengintrospeksi diri saya sendiri baik secara objektif ataupun subyektif saya di mata mereka. Seperti survey abal-abal terakhir saya tentang kedewasaan.

Dari beberapa orang yang saya tanyai apa arti kedewasaan di mata mereka, ada yang menjawabnya dengan guyonan, seperti “kalo giginya udah pas 32, coba deh langsung dihitung”, atau “kalo udah siap nikah, dan siap buat anak, hehehe”, ada juga yang menganggap bahwa kata “dewasa” itu hanyalah suatu alasan untuk meremehkan ataupun meninggikan orang lain.

Tapi dari mereka yang menjawab dengan sungguh-sungguh, ada beberapa point yang saya tangkap (beberapa diantara mereka menjawab jawaban yang sama), siapa yang menjawab, ndak usah tak kasih tau yaa… :) here they are the answers: Dewasa itu…
  • Mengedepankan kepentingan orang lain dengan alasan yang tepat.
  • Tidak keluar dari rule yang ada.
  • Pandai memprioritaskan hal-hal penting.
  • Tanggung jawab atas pilihan yang dibuat.
  • Menyelesaikan masalah dengan solusi, bukan masalah baru.
  • Bisa membedakan yang haq dan yang bathil.
  • Legowo dan pengertian.
  • Dapat menempatkan sikap diri sendiri di setiap situasi.
  • Bijaksana.
  • Bisa menghargai orang lain.
  • Tidak mengecilkan yang lain, apapun itu.
  • Tidak merugikan orang lain.
  • Bertanggung jawab dan melaksanakan kewajibannya saat ini.
  • Bisa mengayomi.

Karena sedikit banyak saya telah mengenal mereka, jadi menurut saya, setiap jawaban yang diberikan adalah berdasakan pengalaman orang yang menjawabnya. Atau paling tidak mencerminkan pola pikir mereka dan lingkungan sekitar mereka. Contohnya, orang yang menjawab “dewasa = bisa mengayomi” adalah teman saya yang dalam kesehariannya memang sering dijadikan pemimpin dalam berbagai macam forum. Yang menjawab “dewasa = tidak mengecilkan yang lain, apapun itu” dalam kesehariannya, adalah tipe orang yang sering berfilsafat tentang kehidupan (terbukti dari filosofi-filosofi barunya yang sering ia tuliskan sebagai status di fb. hehehe). Bagaimanapun, perkiraan saya tentang mereka pun bisa saja salah. Karena yang paling mengetahui tentang seseorang adalah orang itu sendiri dan penciptanya, kan? :)

Well, kalau melihat “standar” dewasa di mata teman-teman dan saudara-saudara saya itu, ada banyak point yang belum bisa saya penuhi. Tapi kalau ditanya apa arti dewasa di mata saya, maka saya akan menjawab bahwa “seseorang bisa dikatakan dewasa, ketika orang tersebut memiliki prinsip yang baik dan konsisten menjalankannya”.

Prinsip baik yang saya maksudkan adalah baik untuk dirinya sendiri maupun lingkungan sekitarnya. At least tidak merugikan orang lain lah...

Kalo menurut temen-temen blgger, dewasa itu apa sih? :)

it's a good bye

hei brother,
seems like a part in my life, you're the owner
but everything is getting harder
you're not a murderer,
it just tastes bitter...
i come closer, you go further
i don't want to be a disturber
nor the ruiner
so it's a farewell letter...

:)

さようなら

Hmmm...

Nggak kerasa udah tiga tahunan saya jadi “warga” Yogyakarta a.k.a Jogja. Hmm..kota yang penuh dengan hal-hal unik, menarik, dan menyenangkan. Banyak orang bilang, sebenarnya daya tarik kota ini yang sesungguhnya bukan karena pesona alamnya yang indah, makanannya yang maknyuss, ataupun lembaga pendidikan yang tersebar sampai di pelosok-pelosoknya. Daya tarik sesungguhnya adalah adat istiadat dan kebudayaannya. And I can’t agree more about that. Bule-bule itu yang jadi buktinya. :)

Adat istiadat gimana nih maksudnya? maksudnya itu, pola kehidupan masyarakatnya yang masih sangat lugu, sederhana, dan menjunjung tinggi adat istiadat, kehormatan, dan kepatuhannya pada keraton yang dipimpin Sri Sultan Hamengkubuwono. Mereka bener-bener melakukan apa yang disebut “pejah-gesang ndherek Sultan”. Contohnya aja waktu gempa hebat tahun 2006 itu, semua masyarakat panik dan yang berhasil menenangkannya hanyalah perintah dari Sultan. Bahkan cerita dari bulik ku yang mengalami gempa itu, harga labu kuning melambung gila-gilaan karena tersebar rumor bahwa Sultan yang memerintahkan membelinya untuk menolak “bala” yang khawatir datang menyusul. Entah benar atau tidak berita yang tersebar itu, yang jelas berita dengan label “perintah Sultan” pasti langsung ditaati oleh masyarakat setempat.

Peristiwa lain bukti taatnya masyarakat Jogja terhadap Sultan dan keraton yang dipimpinnya adalah peristiwa fenomenal kematian Mbah Marijan pada saat meletusnya Merapi beberapa tahun lalu. Masih pada inget kan ya?. Adanya abdi dalem yang sampai saat ini masih setia melayani keraton juga menjadi bukti yang amat nyata. Walaupun belakangan ini ada juga beberapa pihak yang mulai berfikir -menurut mereka- untuk lebih maju ke depan, meninggalkan semua hal-hal tentang kerajaan seperti itu.

Saya tidak mau berdebat soal itu, bagi saya pribadi, tidak masalah apakah kita –masyarakat yang tinggal di Jogja- menjadikan diri kita golongan yang “pejah-gesang ndherek Sultan” atau tidak. Yang paling penting adalah menjaga agar keharmonisan tetap terlaksana di kota nan indah ini. Caranya ya harus saling menghormati antara pihak satu dengan pihak yang lainnya. Jangan sampai memperjuangkan pendapat pribadi atau golongannya dengan menginjak-injak pendapat orang atau golongan lain. Selama pendapat itu untuk kebaikan Yogyakarta itu sendiri. Itu saja. Saya cinta Jogja yang damai. :)

Udah ah, muqodimah-nya kepanjangan. Sebenernya saya mau cerita tentang Nyi Roro Kidul. Sebuah fenomena lain lagi yang masih diperdebatkan tentang keberadaannya. Dari awal saya menginjakkan kaki di jogja, saya tinggal di rumah paklik saya yang notabene warga pendatang juga. Paklik saya termasuk orang yang tidak terlalu peduli dengan hal-hal tentang keraton. Hidupnya lempeng-lempeng saja, tidak begitu terpengaruh oleh perintah Sultan. Maka, saya pun terpengaruhi cara berfikirnya tentang hal tersebut. Menganggap semua itu adalah bagian dari sejarah dan adat istiadat yang perlu dilestarikan, tapi tidak menjadikannya sesuatu yang mutlak wajib dipercayai dan dipatuhi layaknya agama. Termasuk kepercayaan eksistensi Nyo Roro Kidul a.k.a Ratu Pantai Selatan.

Berpuluh-puluh tahun paklik saya tinggal di Jogja, tak pernah sekalipun beliau ikut melihat langsung upacara sekaten, karena emang nggak niat, ujarnya. Selama tiga tahun ini saya pun begitu, bukan karena saya tidak peduli. Sebenarnya saya sangat tertarik untuk melihatnya secara langsung, namun karena lebih menghargai pendapat paklik saya, saya tidak berangkat dan cukup menyaksikannya lewat berita di tv. Kalau pasar malemnya saja sih saya pernah, hehehe.

Nah, kalo soal Nyi Roro Kidul itu sendiri, menurut Paklik saya, itu hanya mitos atau legenda saja. Tapi kemarin, sewaktu saya menginap di tempat eyang (tidak langsung) saya di daerah Pundong, dekat Parangtritis, saya mendapatkan jawaban lain, versinya sendiri yang notabene masyarakat Jogja asli dan golongan yang ndherek Sultan.

Waktu itu kami sedang menonton acara Hitam Putih, yang sedang diwawancarai adalah gadis ber-airmata “berlian” yang sedang heboh di televisi. Di salah satu scene, si gadis bercerita tentang pengalamannya berekreasi di pantai parangtritis dan mengaku bertemu sosok cantik berbaju hijau yang kurang jelas apakah nyata atau tidak. Orang-orang percaya bahwa sosok itu adalah Nyi Roro Kidul. Spontan saya bertanya pada eyang saya, “Mbah, sebenarnya Nyi Roro Kidul itu ada atau ndak sih?” beliau segera menjawab secepat kilat dan penuh ketegasan “Yo ada, itu beneran ada, Nyi Roro Kidul itu istrinya Sultan”. Saya heran, “lha, bukannya istrinya Sultan itu manusia dan masih hidup?”. Sambung eyang, “Lha iya, jadi, Sultan itu punya istri yang manusia, punya juga dalam bentuk roh. Nah, Nyi Roro Kidul itu istrinya dalam wujud selain manusia.”. “Ooooh…jadi, Nyi Roro Kidul itu istrinya Sultan yang sekarang? Lha kok perasaan udah ada dari zaman dulu, Mbah?”. Eyang menjawab lagi, “Yo ndak begitu, jadi dari Sultan yang pertama sampai yang sekarang Nyi Roro Kidul itulah istri dalam wujud selain manusia. Turun temurun gitu lho pi maksudnya.” Saya bingung, “Lah, bisa gitu yak, istrinya diwarisin gitu mbah? hehehe. Nek suami istri berarti pernah ketemu dong ya Mbah mereka itu?”. Eyang bilang, “Yo iyo tho yoo…piye to kamu pi..pi..”. Eyang tertawa, dan saya masih mikir.


Menurut temen-temen blogger sendiri gimana?


Kopdaran euy...

Sudah berapa windu ya saya absen dari blogosphere?hehehe, yang jelas, saya banyaaakkk sekali ketinggalan cerita temen-temen blogger, walaupun ada beberapa juga sih yang sesekali saya hampiri blognya dan hanya jadi silent reader. Ok, saya nggak akan nulis seribu alasan kenapa saya lama sekali absennya (gakadayangmautaujugapiiiiiii), yang pasti, diantara seribu alasan itu ada satu yang paling basi : males. :D

Well… saya cuma mo cerita aja sih sebenernya, kalo beberapa waktu lalu saya abis kopdaran sama dua orang blogger. Ups, semi kopdaran ding, yang satu lagi mah udah kenal dari dulu. Nah, kalo yang dari Jawa Timur ini yang baru pertama kali saya temuin, namanya : Ika a.k.a kacho yang punya blog My World.

Tadinya saya rada sungkan juga mo ketemuan sama para penggiat blog ini, kenapa? Karena eh karena saya pan udah lama banget nggak nge-blog, jadi rada gimanaaa gitu yak rasanya, rikuh, takut nggak nyambung apa yang diomongin. Tapi ternyata Ika sama mas huda nggak ambil pusing tuh soal itu, yang jelas saya masih punya “ktp blogger”, masih punya halaman blog ini, hihihi…walopun finally emang ada sih beberapa case tentang hal baru di blog yang saya nggak nyambung blas diajakin ngobrolnya, alhasil saya dijadikan obyek tertawaan mereka.

Hmm…mas huda sama ika udah pada cerita tentang semi kopadaran kita di blognya masing-masing, yahh..saya juga mau cerita versi saya donk yaaaa… :D

Dalam pikiran saya, yang namanya ika itu orang yang ekspresif banget. Saya menyimpulkan dari tulisan-tulisan dan sms-sms nya yang sering ada emot di ujungnya. Saya suka orang yang ekspresif, bikin hidup lebih hidup! #eaaaa… tapi ternyataaaaa…jeng..jeng..jeng… yaaa, ekspresif juga sih, tapi kadarnya nggak setinggi anggapanku, hehehe…

But overall, menurutku ika termasuk cewek yang bisa membaur dengan lingkungan baru. Orangnya imut, putih, dan berkacamata. Kalo dibilang kecil banget sih nggak ka, masih standar lah kayak cewek-cewek pada umumnya, karena makannya dikit kali ya kaaa… (somay seporsi aja nggak abis, hihihi). Tapi kalo untuk nge-bonceng, sayanya yang emang nggak tega liat dia mboncengin saya yang….mmm..yaaa..begitulah, hehe. Ambruk dijalan kan malah repot.

Orangnya nggak begitu cerewet, nggak begitu pendiem juga. Unik, dan memang sepertinya dia suka hal-hal yang unik. Cerita-ceritanya tentang hal-hal baru yang ditemuinya di LSM tempatnya kerja menyenangkan untuk disimak karena banyak hal baru yang belum pernah saya alamin di hidup saya. Cerita-ceritanya tentang Surabaya juga bikin saya pingiiin main ke kota itu. Kapan-kapan ya ka, ajakin muter-muter kota ituuu.. ^^

Kopdar dimulai dari jum’at sore dan berakhir sabtu siang, kita nyamperin mas huda yang udah nongol duluan di kantor pos. Cerita versinya mas huda, di bagian ini, nggak tau kenapa saya dinarasikan sebagai cewek penggoda… oh noooo… --“

Lanjut ke alun-alun selatan, ngobrol disana ngalor ngidul sambil makan rujak yang sambelnya mo ikutan kenalan sama jilbab saya, ugh! --“ Terus shalat maghrib di masjid kauman dan berakhir jalan-jalan geje di Malioboro. Yang saya ingat dari jalan-jalan geje itu, saya ditraktir es krim spongebob sama orang yang geje juga, hahahah ups! Sori ya kaaa, becanda sama temenmu itu.. :D

Hari keduanya saya sama ika keluar sarang duluan, emang niat mo ke pasar bringharjo nyari oleh-oleh buat temen-temen en keluarganya si Ika, mas huda nggak ikut, urusan pasar sih cewek aja, hihihi… udahan belanja, baru deh kita ketemuan sama mas huda di alun-alun utara, emang niatannya mau muter-muter keraton. Udah capek muterin keratin, kita makan mi ayam dulu. One thing happened there, mas huda nyadar kalo kacamatanya ilang! Waduh, kayaknya ketinggalan pas poto-poto sama patung abdi dalem itu deh. Yang keilangan nggak mau balik lagi buat nyari, yaudah kita lanjut deh…

Lanjut nyari bakpia, yang ini mas huda yang ngunjukin arah, dia yang tau tempat malak, eh, beli bakpia enak tapi murah, hehehe. Udahan beli bakpia langsung deh kita ke stasiun Tugu, nganterin si Ika balik ke Surabaya. Keretanya jam 2 siang. Nggak kerasa, udah selesai aja kopdarannya, rasanya baru kemaren saya jemput Ika disini. (Lha emang!!) :p FYI, ini kopdaran saya yang pertama dan rasanya…menyenangkan! ^^

Oh iya, si Ika nanyain saya di sms, emangnya nama “huda tula” itu nama asli mas huda apa bukan. Saya jawab, separoh asli. Respon Ika, lha berarti yang separoh lagi palsu?. Saya bilang, nggak palsu juga sih, cuma modifikasi aja, kayak rabest gitu. Karena Ika nggak nanyain siapa nama aslinya, yaudah saya nggak kasih tau. :p

Hayolooohhh Ikaaa….udah tau belummm?hehe..tanya orangnya langsung ajaa… #uhuk-uhuk# (kasakkusuksiap2bikingosip) hahahah…peaceee yaaaaa…… ^^v