Hmmm...
Nggak kerasa udah tiga tahunan saya jadi “warga” Yogyakarta a.k.a Jogja. Hmm..kota yang penuh dengan hal-hal unik, menarik, dan menyenangkan. Banyak orang bilang, sebenarnya daya tarik kota ini yang sesungguhnya bukan karena pesona alamnya yang indah, makanannya yang maknyuss, ataupun lembaga pendidikan yang tersebar sampai di pelosok-pelosoknya. Daya tarik sesungguhnya adalah adat istiadat dan kebudayaannya. And I can’t agree more about that. Bule-bule itu yang jadi buktinya. :)
Adat istiadat gimana nih maksudnya? maksudnya itu, pola kehidupan masyarakatnya yang masih sangat lugu, sederhana, dan menjunjung tinggi adat istiadat, kehormatan, dan kepatuhannya pada keraton yang dipimpin Sri Sultan Hamengkubuwono. Mereka bener-bener melakukan apa yang disebut “pejah-gesang ndherek Sultan”. Contohnya aja waktu gempa hebat tahun 2006 itu, semua masyarakat panik dan yang berhasil menenangkannya hanyalah perintah dari Sultan. Bahkan cerita dari bulik ku yang mengalami gempa itu, harga labu kuning melambung gila-gilaan karena tersebar rumor bahwa Sultan yang memerintahkan membelinya untuk menolak “bala” yang khawatir datang menyusul. Entah benar atau tidak berita yang tersebar itu, yang jelas berita dengan label “perintah Sultan” pasti langsung ditaati oleh masyarakat setempat.
Peristiwa lain bukti taatnya masyarakat Jogja terhadap Sultan dan keraton yang dipimpinnya adalah peristiwa fenomenal kematian Mbah Marijan pada saat meletusnya Merapi beberapa tahun lalu. Masih pada inget kan ya?. Adanya abdi dalem yang sampai saat ini masih setia melayani keraton juga menjadi bukti yang amat nyata. Walaupun belakangan ini ada juga beberapa pihak yang mulai berfikir -menurut mereka- untuk lebih maju ke depan, meninggalkan semua hal-hal tentang kerajaan seperti itu.
Saya tidak mau berdebat soal itu, bagi saya pribadi, tidak masalah apakah kita –masyarakat yang tinggal di Jogja- menjadikan diri kita golongan yang “pejah-gesang ndherek Sultan” atau tidak. Yang paling penting adalah menjaga agar keharmonisan tetap terlaksana di kota nan indah ini. Caranya ya harus saling menghormati antara pihak satu dengan pihak yang lainnya. Jangan sampai memperjuangkan pendapat pribadi atau golongannya dengan menginjak-injak pendapat orang atau golongan lain. Selama pendapat itu untuk kebaikan Yogyakarta itu sendiri. Itu saja. Saya cinta Jogja yang damai. :)
Udah ah, muqodimah-nya kepanjangan. Sebenernya saya mau cerita tentang Nyi Roro Kidul. Sebuah fenomena lain lagi yang masih diperdebatkan tentang keberadaannya. Dari awal saya menginjakkan kaki di jogja, saya tinggal di rumah paklik saya yang notabene warga pendatang juga. Paklik saya termasuk orang yang tidak terlalu peduli dengan hal-hal tentang keraton. Hidupnya lempeng-lempeng saja, tidak begitu terpengaruh oleh perintah Sultan. Maka, saya pun terpengaruhi cara berfikirnya tentang hal tersebut. Menganggap semua itu adalah bagian dari sejarah dan adat istiadat yang perlu dilestarikan, tapi tidak menjadikannya sesuatu yang mutlak wajib dipercayai dan dipatuhi layaknya agama. Termasuk kepercayaan eksistensi Nyo Roro Kidul a.k.a Ratu Pantai Selatan.
Berpuluh-puluh tahun paklik saya tinggal di Jogja, tak pernah sekalipun beliau ikut melihat langsung upacara sekaten, karena emang nggak niat, ujarnya. Selama tiga tahun ini saya pun begitu, bukan karena saya tidak peduli. Sebenarnya saya sangat tertarik untuk melihatnya secara langsung, namun karena lebih menghargai pendapat paklik saya, saya tidak berangkat dan cukup menyaksikannya lewat berita di tv. Kalau pasar malemnya saja sih saya pernah, hehehe.
Nah, kalo soal Nyi Roro Kidul itu sendiri, menurut Paklik saya, itu hanya mitos atau legenda saja. Tapi kemarin, sewaktu saya menginap di tempat eyang (tidak langsung) saya di daerah Pundong, dekat Parangtritis, saya mendapatkan jawaban lain, versinya sendiri yang notabene masyarakat Jogja asli dan golongan yang ndherek Sultan.
Waktu itu kami sedang menonton acara Hitam Putih, yang sedang diwawancarai adalah gadis ber-airmata “berlian” yang sedang heboh di televisi. Di salah satu scene, si gadis bercerita tentang pengalamannya berekreasi di pantai parangtritis dan mengaku bertemu sosok cantik berbaju hijau yang kurang jelas apakah nyata atau tidak. Orang-orang percaya bahwa sosok itu adalah Nyi Roro Kidul. Spontan saya bertanya pada eyang saya, “Mbah, sebenarnya Nyi Roro Kidul itu ada atau ndak sih?” beliau segera menjawab secepat kilat dan penuh ketegasan “Yo ada, itu beneran ada, Nyi Roro Kidul itu istrinya Sultan”. Saya heran, “lha, bukannya istrinya Sultan itu manusia dan masih hidup?”. Sambung eyang, “Lha iya, jadi, Sultan itu punya istri yang manusia, punya juga dalam bentuk roh. Nah, Nyi Roro Kidul itu istrinya dalam wujud selain manusia.”. “Ooooh…jadi, Nyi Roro Kidul itu istrinya Sultan yang sekarang? Lha kok perasaan udah ada dari zaman dulu, Mbah?”. Eyang menjawab lagi, “Yo ndak begitu, jadi dari Sultan yang pertama sampai yang sekarang Nyi Roro Kidul itulah istri dalam wujud selain manusia. Turun temurun gitu lho pi maksudnya.” Saya bingung, “Lah, bisa gitu yak, istrinya diwarisin gitu mbah? hehehe. Nek suami istri berarti pernah ketemu dong ya Mbah mereka itu?”. Eyang bilang, “Yo iyo tho yoo…piye to kamu pi..pi..”. Eyang tertawa, dan saya masih mikir.
Menurut temen-temen blogger sendiri gimana?
Adat istiadat gimana nih maksudnya? maksudnya itu, pola kehidupan masyarakatnya yang masih sangat lugu, sederhana, dan menjunjung tinggi adat istiadat, kehormatan, dan kepatuhannya pada keraton yang dipimpin Sri Sultan Hamengkubuwono. Mereka bener-bener melakukan apa yang disebut “pejah-gesang ndherek Sultan”. Contohnya aja waktu gempa hebat tahun 2006 itu, semua masyarakat panik dan yang berhasil menenangkannya hanyalah perintah dari Sultan. Bahkan cerita dari bulik ku yang mengalami gempa itu, harga labu kuning melambung gila-gilaan karena tersebar rumor bahwa Sultan yang memerintahkan membelinya untuk menolak “bala” yang khawatir datang menyusul. Entah benar atau tidak berita yang tersebar itu, yang jelas berita dengan label “perintah Sultan” pasti langsung ditaati oleh masyarakat setempat.
Peristiwa lain bukti taatnya masyarakat Jogja terhadap Sultan dan keraton yang dipimpinnya adalah peristiwa fenomenal kematian Mbah Marijan pada saat meletusnya Merapi beberapa tahun lalu. Masih pada inget kan ya?. Adanya abdi dalem yang sampai saat ini masih setia melayani keraton juga menjadi bukti yang amat nyata. Walaupun belakangan ini ada juga beberapa pihak yang mulai berfikir -menurut mereka- untuk lebih maju ke depan, meninggalkan semua hal-hal tentang kerajaan seperti itu.
Saya tidak mau berdebat soal itu, bagi saya pribadi, tidak masalah apakah kita –masyarakat yang tinggal di Jogja- menjadikan diri kita golongan yang “pejah-gesang ndherek Sultan” atau tidak. Yang paling penting adalah menjaga agar keharmonisan tetap terlaksana di kota nan indah ini. Caranya ya harus saling menghormati antara pihak satu dengan pihak yang lainnya. Jangan sampai memperjuangkan pendapat pribadi atau golongannya dengan menginjak-injak pendapat orang atau golongan lain. Selama pendapat itu untuk kebaikan Yogyakarta itu sendiri. Itu saja. Saya cinta Jogja yang damai. :)
Udah ah, muqodimah-nya kepanjangan. Sebenernya saya mau cerita tentang Nyi Roro Kidul. Sebuah fenomena lain lagi yang masih diperdebatkan tentang keberadaannya. Dari awal saya menginjakkan kaki di jogja, saya tinggal di rumah paklik saya yang notabene warga pendatang juga. Paklik saya termasuk orang yang tidak terlalu peduli dengan hal-hal tentang keraton. Hidupnya lempeng-lempeng saja, tidak begitu terpengaruh oleh perintah Sultan. Maka, saya pun terpengaruhi cara berfikirnya tentang hal tersebut. Menganggap semua itu adalah bagian dari sejarah dan adat istiadat yang perlu dilestarikan, tapi tidak menjadikannya sesuatu yang mutlak wajib dipercayai dan dipatuhi layaknya agama. Termasuk kepercayaan eksistensi Nyo Roro Kidul a.k.a Ratu Pantai Selatan.
Berpuluh-puluh tahun paklik saya tinggal di Jogja, tak pernah sekalipun beliau ikut melihat langsung upacara sekaten, karena emang nggak niat, ujarnya. Selama tiga tahun ini saya pun begitu, bukan karena saya tidak peduli. Sebenarnya saya sangat tertarik untuk melihatnya secara langsung, namun karena lebih menghargai pendapat paklik saya, saya tidak berangkat dan cukup menyaksikannya lewat berita di tv. Kalau pasar malemnya saja sih saya pernah, hehehe.
Nah, kalo soal Nyi Roro Kidul itu sendiri, menurut Paklik saya, itu hanya mitos atau legenda saja. Tapi kemarin, sewaktu saya menginap di tempat eyang (tidak langsung) saya di daerah Pundong, dekat Parangtritis, saya mendapatkan jawaban lain, versinya sendiri yang notabene masyarakat Jogja asli dan golongan yang ndherek Sultan.
Waktu itu kami sedang menonton acara Hitam Putih, yang sedang diwawancarai adalah gadis ber-airmata “berlian” yang sedang heboh di televisi. Di salah satu scene, si gadis bercerita tentang pengalamannya berekreasi di pantai parangtritis dan mengaku bertemu sosok cantik berbaju hijau yang kurang jelas apakah nyata atau tidak. Orang-orang percaya bahwa sosok itu adalah Nyi Roro Kidul. Spontan saya bertanya pada eyang saya, “Mbah, sebenarnya Nyi Roro Kidul itu ada atau ndak sih?” beliau segera menjawab secepat kilat dan penuh ketegasan “Yo ada, itu beneran ada, Nyi Roro Kidul itu istrinya Sultan”. Saya heran, “lha, bukannya istrinya Sultan itu manusia dan masih hidup?”. Sambung eyang, “Lha iya, jadi, Sultan itu punya istri yang manusia, punya juga dalam bentuk roh. Nah, Nyi Roro Kidul itu istrinya dalam wujud selain manusia.”. “Ooooh…jadi, Nyi Roro Kidul itu istrinya Sultan yang sekarang? Lha kok perasaan udah ada dari zaman dulu, Mbah?”. Eyang menjawab lagi, “Yo ndak begitu, jadi dari Sultan yang pertama sampai yang sekarang Nyi Roro Kidul itulah istri dalam wujud selain manusia. Turun temurun gitu lho pi maksudnya.” Saya bingung, “Lah, bisa gitu yak, istrinya diwarisin gitu mbah? hehehe. Nek suami istri berarti pernah ketemu dong ya Mbah mereka itu?”. Eyang bilang, “Yo iyo tho yoo…piye to kamu pi..pi..”. Eyang tertawa, dan saya masih mikir.
Menurut temen-temen blogger sendiri gimana?