Any Suggest?
Sebelumnya tak kasi tau dulu, curcol ini bakalan panjang lhooo… :D
Sudah hampir dua bulan ini finally saya memutuskan untuk nge-kos. Bagi yang belum tau, tadinya saya “nunut” di tempat paklik saya di daerah Sedayu. Sekarang saya menghabiskan malam-malam saya sendirian di kamar tanpa ditemani berisiknya bocah-bocah SD, tiga sepupu laki-laki saya yang sering berdebat kusir sebelum tidur atau sekedar “gojekan”. Hmm…tenang sih, tapi kadang kangen juga, makanya kalau akhir pekan nggak ada kegiatan saya masih sering main kesana.
Saya pernah nyantri atau mondok selama enam tahun, otomatis, saya sudah lumayan terbiasa hidup mandiri. Tapi tetap saja, ternyata kehidupan kos dan kehidupan mondok itu jauh berbeda di segala aspek, terutama teman-temannya. Namanya juga masih bocah waktu itu, enjoy aja sama teman sekamar, siapapun itu. FYI, sistem penentuan temen kamar di tempat saya mondok dulu itu dirotasi, jadi tiap semester kita bisa saja dapat teman kamar yang berbeda-beda. Adaptasinya? Walaupun sifat kita berbeda-beda, toh ternyata gampang-gampang aja. Yah…bisa maklum. Kita punya kegiatan yang sama, sekolah yang sama, tempat ngaji yang sama, meja makan yang sama dan walikamar yang sama, jadi semuanya bisa langsung klop dengan begitu saja.
Beda sama temen kos. Selain kita kadang emang bener-bener nggak kenal mereka sebelumnya, kegiatan yang kita punya otomatis beda-beda. Pertama kali ngekos dan saya langsung mengalami hal tersebut. Di tempat saya kos ada 4 kamar, 2 yang di bawah diisi oleh orang Medan, mahasiswa semester akhir semua, tapi satu diantaranya nyambi kerja. Yang 1 kamar diisi saya (yaiyalah!) yang satunya lagi diisi newbie di jogja, anak perantauan Kalimantan yang baru lulus SMA mau nyoba kuliah di Jogja.
Dua penghuni di bawah itu selalu berkebalikan sama saya. Saya pergi kuliah, mereka belum bangun, nanti saya pulang kuliah mereka udah nggak ada di kamar sampe jam sepuluh malam yang kadang-kadang (sering ding) saya udah merem. Boro-boro ngobrol atau adaptasi, tatap muka aja jarang.
Singkat cerita, walaupun kami jarang ketemu, bukan berarti masalah nggak muncul. Namanya manusia, pasti adaaaa aja gesekan-gesekan yang terjadi kalo berdekatan. It’s ok, itu memang bagian dari proses, kan? Hanya saja yang mengganjal di hati saya, cara penyampaian mereka tentang masalah-masalah itu. Seringkali menggunakan “kekerasan”.
Bukan. Bukan. Saya bukannya ditonjok atau dikeroyok digebukin, hehehe. Cuma bahasa yang mereka gunakan menurut takaran hati saya “menyakitkan”. And honestly, buat saya itu lebih sakit dari ditonjok atau digebukin. Saya nggak mau menjadikan asal daerah sebagai kambing hitam, toh saya juga punya banyak teman dari Medan dan mereka ramah-ramah. Mungkin ini emang murni masalah sifat individu kali ya.
Sudah hampir dua bulan ini finally saya memutuskan untuk nge-kos. Bagi yang belum tau, tadinya saya “nunut” di tempat paklik saya di daerah Sedayu. Sekarang saya menghabiskan malam-malam saya sendirian di kamar tanpa ditemani berisiknya bocah-bocah SD, tiga sepupu laki-laki saya yang sering berdebat kusir sebelum tidur atau sekedar “gojekan”. Hmm…tenang sih, tapi kadang kangen juga, makanya kalau akhir pekan nggak ada kegiatan saya masih sering main kesana.
Saya pernah nyantri atau mondok selama enam tahun, otomatis, saya sudah lumayan terbiasa hidup mandiri. Tapi tetap saja, ternyata kehidupan kos dan kehidupan mondok itu jauh berbeda di segala aspek, terutama teman-temannya. Namanya juga masih bocah waktu itu, enjoy aja sama teman sekamar, siapapun itu. FYI, sistem penentuan temen kamar di tempat saya mondok dulu itu dirotasi, jadi tiap semester kita bisa saja dapat teman kamar yang berbeda-beda. Adaptasinya? Walaupun sifat kita berbeda-beda, toh ternyata gampang-gampang aja. Yah…bisa maklum. Kita punya kegiatan yang sama, sekolah yang sama, tempat ngaji yang sama, meja makan yang sama dan walikamar yang sama, jadi semuanya bisa langsung klop dengan begitu saja.
Beda sama temen kos. Selain kita kadang emang bener-bener nggak kenal mereka sebelumnya, kegiatan yang kita punya otomatis beda-beda. Pertama kali ngekos dan saya langsung mengalami hal tersebut. Di tempat saya kos ada 4 kamar, 2 yang di bawah diisi oleh orang Medan, mahasiswa semester akhir semua, tapi satu diantaranya nyambi kerja. Yang 1 kamar diisi saya (yaiyalah!) yang satunya lagi diisi newbie di jogja, anak perantauan Kalimantan yang baru lulus SMA mau nyoba kuliah di Jogja.
Dua penghuni di bawah itu selalu berkebalikan sama saya. Saya pergi kuliah, mereka belum bangun, nanti saya pulang kuliah mereka udah nggak ada di kamar sampe jam sepuluh malam yang kadang-kadang (sering ding) saya udah merem. Boro-boro ngobrol atau adaptasi, tatap muka aja jarang.
Singkat cerita, walaupun kami jarang ketemu, bukan berarti masalah nggak muncul. Namanya manusia, pasti adaaaa aja gesekan-gesekan yang terjadi kalo berdekatan. It’s ok, itu memang bagian dari proses, kan? Hanya saja yang mengganjal di hati saya, cara penyampaian mereka tentang masalah-masalah itu. Seringkali menggunakan “kekerasan”.
Bukan. Bukan. Saya bukannya ditonjok atau dikeroyok digebukin, hehehe. Cuma bahasa yang mereka gunakan menurut takaran hati saya “menyakitkan”. And honestly, buat saya itu lebih sakit dari ditonjok atau digebukin. Saya nggak mau menjadikan asal daerah sebagai kambing hitam, toh saya juga punya banyak teman dari Medan dan mereka ramah-ramah. Mungkin ini emang murni masalah sifat individu kali ya.
Yah…saya juga nyadar diri sebagai orang baru. Nggak berani banyak bertingkah atau sok menasihati. And finally I decided to be silent. Seminimal mungkin saya kurangi interaksi saya dengan mereka, menghindari gesekan. Yang tadinya dua kali sehari ketemunya, malah bisa nggak ketemu sama sekali, Cuma denger mereka buka Grendel pintu atau gebyar gebyur di kamar mandi. Parah banget ya?ckckckck..jangan ditiru ya adik-adik manis…
Hmm…lama-lama hal ini bikin saya nggak nyaman. Masa iya mau kayak gini terus? Dalam hati sih pinginnya, punya housemate kayak di pondok dulu, yang klop gitu, tapi apa boleh dikata… setiap mereka marah-marah en menggerutu tentang hal-hal apa saja sampe mengeluarkan kata-kata yang…emmm… ya begitulah, saya selalu merasa bersalah. Merasa sumpah serapah itu ditujukan untuk saya. Dan segera mungkin saya me-review apa saja yang saya lakukan seharian di kos ini. Kalau-kalau ada yang “menyulut” mereka.
Kenapa sampe segitunya sih? Soalnya sekali dua kali ada hal yang memang ternyata saya lah penyebabnya. Tapi itu hal selepeh (baca:sepele) koookk…kayak lupa meninggalkan pintu kamar mandi dalam keadaan tertutup, padahal mereka menghendaki dibuka. Ataupun lupa nyalain lampu teras waktu mereka ulang malam. Jadi ya….tiap mereka marah-marah secara tidak sadar saya langsung mengutuki diri saya sendiri, menimbang-nimbang kelupaan apalagi yang jadi penyebabnya.
Fyuuuhh…sungguh saya capek. Tapi ketika mengingat alasan mengapa saya pilih nge-kos, saya memilih bertahan dan mencoba mengahadapi situasi ini sebaik mungkin. Waktu ketemu sama ibu kos juga banyak dikasih nasihat, nge-kos itu sejatinya belajar bermasyarakat. Kita harus pandai-pandai membawa diri. Nggak bisa dipungkiri pasti ada satu dua orang yang ingin “mengganggu” kita. Ada yang tidak suka dengan gerak-gerik kita, de el el, de es be.
Makdartu, sebisa mungkin kita bersikap baik dan ramah sama lingkungan (lingkungan tempat saya, perkampungan, bukan kos-kosan yang deket kampus). Sama lingkungan di luar kos, saya fine-fine aja. Malah ada beberapa ibu-ibu yang saya kenal (wajahnya sama rumahnya doank sih), at least senyum setiap berpapasan. Lha sama anak kos? Saya juga udah berusaha with my best effort kok waktu di awal-awal itu, tapi mendapat perlakuan/timbal balik yang tidak mengenakan seperti itu bikin saya males mencobanya lagi. (belum bisa belajar ikhlas sepenuhnya, huhuhu)
Gimanapun juga, mereka sodara saya, sodara semuslim maksudnya, saya nggak mau ada “perang dingin” kayak gini. Tapi kalo sayanya “muncul”, yang ada malah perang beneran. Untuk sekarang ini sih saya masih menerapkan salah satu lirik lagunya mbak Kelly Clarkson yang “WHAT DOESN’T KILL YOU MAKES YOU STRONGER”. Yup, masalah kayak gini (yang nggak sampe menghilangkan nyawa saya #lebay#) hanya akan menambah hati dan fikiran saya bertambah kuat. Mendewasakan diri istilah kerennya. Saya akan berusaha menghadapinya dengan jurus you-you kang-kang. #eh?
Maksudnya lo-lo-gue-gue. Saya menerapkan sitem kayak di kos cowok aja, yang biasanya emang “don’t know don’t care” sama kehidupan tetangga sebelah kosnya. Saya menjalani kehidupan saya di dunia saya, begitupun mereka. Sebisa mungkin saya menjaga agar pelaksanaan hak-hak saya tidak mengganggu hak-hak mereka, begitu juga soal kewajiban. Dan saya menentramkan fikiran saya sendiri bahwa saya tidak perlu merasa bersalah atas sumpah serapah yang mereka ucapkan. Let it flow… kalau emang ternyata saya yang salah, ya saya akan minta maaf. Yup, berdamai dengan diri saya sendiri rasanya lebih patut diupayakan daripada mencoba berdamai dengan orang lain dan beresiko perang.
Saya berusaha menjalani hidup se-tenang, se-enjoy dan se-natural mungkin (d’masiv kaleee). Yah, pokoknya begitulah…
Udah tak bilangin lho ini postingan curcolnya bakalan panjang, hehehe..
Teman-temen blogger ada saran kah? :)
Hmm…lama-lama hal ini bikin saya nggak nyaman. Masa iya mau kayak gini terus? Dalam hati sih pinginnya, punya housemate kayak di pondok dulu, yang klop gitu, tapi apa boleh dikata… setiap mereka marah-marah en menggerutu tentang hal-hal apa saja sampe mengeluarkan kata-kata yang…emmm… ya begitulah, saya selalu merasa bersalah. Merasa sumpah serapah itu ditujukan untuk saya. Dan segera mungkin saya me-review apa saja yang saya lakukan seharian di kos ini. Kalau-kalau ada yang “menyulut” mereka.
Kenapa sampe segitunya sih? Soalnya sekali dua kali ada hal yang memang ternyata saya lah penyebabnya. Tapi itu hal selepeh (baca:sepele) koookk…kayak lupa meninggalkan pintu kamar mandi dalam keadaan tertutup, padahal mereka menghendaki dibuka. Ataupun lupa nyalain lampu teras waktu mereka ulang malam. Jadi ya….tiap mereka marah-marah secara tidak sadar saya langsung mengutuki diri saya sendiri, menimbang-nimbang kelupaan apalagi yang jadi penyebabnya.
Fyuuuhh…sungguh saya capek. Tapi ketika mengingat alasan mengapa saya pilih nge-kos, saya memilih bertahan dan mencoba mengahadapi situasi ini sebaik mungkin. Waktu ketemu sama ibu kos juga banyak dikasih nasihat, nge-kos itu sejatinya belajar bermasyarakat. Kita harus pandai-pandai membawa diri. Nggak bisa dipungkiri pasti ada satu dua orang yang ingin “mengganggu” kita. Ada yang tidak suka dengan gerak-gerik kita, de el el, de es be.
Makdartu, sebisa mungkin kita bersikap baik dan ramah sama lingkungan (lingkungan tempat saya, perkampungan, bukan kos-kosan yang deket kampus). Sama lingkungan di luar kos, saya fine-fine aja. Malah ada beberapa ibu-ibu yang saya kenal (wajahnya sama rumahnya doank sih), at least senyum setiap berpapasan. Lha sama anak kos? Saya juga udah berusaha with my best effort kok waktu di awal-awal itu, tapi mendapat perlakuan/timbal balik yang tidak mengenakan seperti itu bikin saya males mencobanya lagi. (belum bisa belajar ikhlas sepenuhnya, huhuhu)
Gimanapun juga, mereka sodara saya, sodara semuslim maksudnya, saya nggak mau ada “perang dingin” kayak gini. Tapi kalo sayanya “muncul”, yang ada malah perang beneran. Untuk sekarang ini sih saya masih menerapkan salah satu lirik lagunya mbak Kelly Clarkson yang “WHAT DOESN’T KILL YOU MAKES YOU STRONGER”. Yup, masalah kayak gini (yang nggak sampe menghilangkan nyawa saya #lebay#) hanya akan menambah hati dan fikiran saya bertambah kuat. Mendewasakan diri istilah kerennya. Saya akan berusaha menghadapinya dengan jurus you-you kang-kang. #eh?
Maksudnya lo-lo-gue-gue. Saya menerapkan sitem kayak di kos cowok aja, yang biasanya emang “don’t know don’t care” sama kehidupan tetangga sebelah kosnya. Saya menjalani kehidupan saya di dunia saya, begitupun mereka. Sebisa mungkin saya menjaga agar pelaksanaan hak-hak saya tidak mengganggu hak-hak mereka, begitu juga soal kewajiban. Dan saya menentramkan fikiran saya sendiri bahwa saya tidak perlu merasa bersalah atas sumpah serapah yang mereka ucapkan. Let it flow… kalau emang ternyata saya yang salah, ya saya akan minta maaf. Yup, berdamai dengan diri saya sendiri rasanya lebih patut diupayakan daripada mencoba berdamai dengan orang lain dan beresiko perang.
Saya berusaha menjalani hidup se-tenang, se-enjoy dan se-natural mungkin (d’masiv kaleee). Yah, pokoknya begitulah…
Udah tak bilangin lho ini postingan curcolnya bakalan panjang, hehehe..
Teman-temen blogger ada saran kah? :)