Pages


Sebutir Nasi

Tinggal di kota Yogyakarta adalah sebuah pilihan. Ya, pilihanku sendiri dan juga pilihan umi abiku.
Setiap pilihan pasti ada konsekuensinya, kan? begitu pula pilihanku yang satu ini.
Selain karena faktor biaya, faktor yang tidak kalah penting adalah lokasi. Yogyakarta dianggap tempat yang paling strategis bagiku untuk mencari ilmu semasa kuliah. Selain memiliki beberapa perguruan tinggi yang cukup dipercaya dan banyak tempat saudara, dekat dengan tempat tinggal mbahku juga salah satu faktor kuat terpilihnya kota ini. Umi dan abiku berpendapat bahwa, jika aku kuliah di yogya, aku akan lebih mudah memberikan perhatian ataupun pertolongan jika sewaktu-waktu terjadi sesuatu pada mbahku yang usianya sudah cukup tua.Intinya, aku dijadikan perpanjangan tangan dari orang tuaku agar mereka tetap bisa berbakti kepada orang tua mereka, sekalipun jarak yang cukup jauh menjadi kendala.(ribet dah!!)

So, here I am. Selama kurang lebih 3 bulan libur diberikan oleh pihak universitas, kuhabiskan hampir seluruhnya di rumah mbahku di pelosok daerah Kebumen, Jawa Tengah. Ini bukanlah hal yang begitu menyenangkan bagiku. Maklum saja, karena sebagai orang yang biasa hidup di keramaian, tinggal di daerah pegunungan yang masih relatif sepi adalah hal yang sangat butuh penyesuaian.Rumah mbahku memang benar-benar berada di daerah pegunungan, transportasinya saja bisa dibilang sangat sulit. Dengan tingkat kemiringan yang cukup curam untuk didaki dan jalanan yang sangat parah untuk dibilang "aspal", 10ribu adalah nilai yang sangat murah untuk ojeg yang kita sewa selama 30menit perjalanan.

Kebanyakan penduduknya masih bermatapencaharian petani. Warung-warung atau tempat berbelanja kebutuhan sehari-hari saja masih jarang, apalagi konter pulsa??, it's really suffering me!!. Tapi, ada harga yang dibayar mahal untuk semua kesulitan itu. Karena gaya hidup yang sangat jauh dari kota, maka tidak ada pula hal-hal menyebalkan yang dengan mudah kita temui di kota, such as polusi, macet, kesibukan masing-masing orang dengan dunianya, atau kebisingan yang selalu memenuhi ruang dengar kita. Yang ada hanya udara yang sangat bersahabat dengan paru-paru kita, pemandangan yang tak bosannya dikagumi, ataupun air segar yang langsung mengalir dari puncak gunung. Ditambah penduduknya yang selalu 'welcome' terhadap pendatang baru dan perbincangan hangat, ramah tamah khas pedesaan.And I enjoyed it.

Perlahan tapi pasti, aku mulai menjalani kehidupan yang mereka jalani. Belajar menggunakan "pawon" atau tungku sebagai kompor; belajar sayang terhadap ayam, bebek, entok dengan memperhatikan kesejahteraan pangan mereka; belajar menyambung selang demi mengalirnya air ke bak mandi kami; belajar murah senyum kepada siapa saja yang kita temui sekalipun kita tidak mengenalnya; belajar menggendong rinjing besar menggunakan kain (khas mbok-mbok jamu) dengan full muatan yang beratnya ampun-ampunan dan -inilah yang membuatku sangat bahagia- belajar menjadi seorang petani.

Selama ini  di rumahku sendiri tidak pernah ada penumpukan bahan pangan, sebab ibuku selalu membelinya dengan perkiraan yang tepat (ala ibu-ibu), cukup untuk hari itu saja atau hari berikutnya, tujuannya agar bahan makanan yang akan diolah selalu segar dan bagus. Maka ketika ada beberapa karung beras, segundukan kelapa (kelapa parut, read.), beberapa ikat kecipir, 5 buah pepaya, dan beberapa sirsak di pelataran rumah mbahku, terlontarlah pertanyaan 'konyol' itu, "buat apa sih mbah ini semua banyak-banyak? emangnya kita mau hajatan ya??hehehe". Tapi jawaban mbahku yang simpel dan singkat itu langsung terasa menampar mukaku pelan, dalam bahasa jawanya yang kental dan ngapak ia berkata yang artinya kira-kira seperti ini, "ya untuk dijual, untuk menyambung hidup, kamu pikir kita bisa bertahan hidup dari apa?". Glek!! iya juga ya...tau apa aku tentang ini semua? tentang susahnya menanam tumbuh-tumbuhan dan menjaganya agar bisa dinikmati? tentang bertahan hidup benar-benar dari alam?. Aku gak tahu apa-apa!! selama ini aku hanya tau beli, beli, dan beli. Menukar sejumlah uang yang kupunya dengan beberapa bahan pangan yang kubutuhkan, kadang mengomel dalam hati jika harganya naik sedikit.

Semua kesadaranku itu mulai menguat ketika suatu hari mbahku mengeluh tentang usianya, karena ia sudah tua dan dia tidak lagi bisa melakukan beberapa hal yang tidak bisa ia tinggalkan. Aktivitas sebagai seorang petani misalnya. Sebagai cucu tentunya aku akan melakukan apapun yang sekiranya dapat membantu sang mbah tercinta. Jreeeeng.... jadilah hari itu aku melakukan hal yang menurutku luar biasa (berleybay.com). Dimulai dari menggendong dengan susah payah 3 buah karung berisi gabah yang kira-kira isinya masing-masing 25 kg!, kemudian menumpahkannya ke atas beberapa terpal lebar yang telah kugelar sebelumnya, menjemurnya dengan rata, membolak-balik setelah kurun waktu tertentu, menjaganya dari incaran ayam-ayam nakal yang masih belum kenyang, dan akhirnya memasukkannya kembali ke dalam karung. Semua itu kulakukan ketika matahari berada pada puncaknya. Bayangkan saja bagaimana bertambah gosongnya kulitku yang sudah hitam ini, hahaha!!!.

Awal mulanya aku mengeluh, pasti. Tapi disela-sela semua keluh kesah itu ada satu pemikiran yang semestinya sudah ada sebelum keluhan-keluhan itu terlontarkan. Bahwa ini hanya sebagian kecil dari kegiatan para petani itu. Bagaimana dengan mereka yang setiap harinya, dengan panas matahari yang sama hebatnya, berjuang di medan lumpur untuk membajak, menanam, menyirami, dan memberi pupuk lahan yang mereka tanam??? Pernahkah mereka mengeluh?? Mengeluh karena meskipun segala daya upaya telah mereka lakukan untuk tetap "memberi makan" kita kehidupan mereka tak kunjung membaik sama halnya dengan mereka yang dengan gampangnya mempermainkan harga pangan?. Aku fikir tidak, karena yang aku tahu mereka melakukan semua itu dengan ikhlas, untuk menyambung hidup mereka dan membiayai sekolah anak-anak mereka. Pernahkah kalian berfikir bagaimana jika suatu saat mereka merasa bosan dengan semua itu dan memutuskan untuk berhenri bercocok tanam??. Kita gak bisa makan.

Syukurlah jika kalian telah menyadarinya dan telah melakukan hal baik untuk menyikapinya. Tapi jika belum, gak ada salahnya memulai dari sekarang. Hargai apapun yang tersedia dihadapan kita untuk dinikmati dan jangan pernah membuangnya sia-sia. Karena walau hanya sebutir nasi, ia dilahirkan dari tetes keringat dan darah seorang petani.